Tugas
PSIKOLOGI AGAMA
Nama : ...............
Nim : ...................
JURUSAN...
Dosen Pembimbing:
Dra. .......................
JURUSAN DAKWAH
KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM (KPI)
SEKOLAH TINGGI ..........................
20..
Soal…….!!!
1. Jelaskan
pengertian, ruang lingkup psikologi agama serta manfaat dalam bidang
dakwah?
2. Sebutkan
dan jelaskan
a. Teori
tentang timbulnya jiwa keagamaan pada anak baik dari ilmu psikologi agama
maupun menurut keilmuan islam
b. Bagaimana
proses keagamaan pada anak serta sifat- sifatnya
c. Bagaimana
proses perkembangan keagamaan pada usia remaja beserta sifatnya,serta faktor
penyebab timbulnya konflik dan keraguan?
3. Bagaimana
perkembangan agama usia dewasa dan lanjut serta factor-faktor yang
melatarbelakangi nya atau mendasarinya?
4. Jelaskan
pengaruh kebudayaan era globalisasi terhadap perkembangan jiwa
keagamaan?
Jawab
1. a. Pengertian Psikologi Agama
Psikologi agama mengunakan dua kata yaitu psikologi dan
agama. Menurut bahasa kata psikologi merupakan hasil peng Indonesiaan dari
bahasa Inggris psychologi, dan istilah ini pun berasal dari kata
Yunan, yaitu: Psycho dapat diartikan “roh, jiwa atau jiwa hidup”, dan logos
dapat diartikan “ilmu”. Dengan demikian, secara harfiah psikologi adalh
ilmu jiwa. Oleh karena itu tidaklah berlebihan manakala ada seseorang yang
menyebut dengan istilah ilmu jiwa atau psikologi. Bertolak dari pemberian
istilah tersebut, saya lebih setuju dengan penyebutan istilah psikologi dari
pada ilmu jiwa. Dengan alasan objeknya, dimana objeknya ilmu jiwa adalah ilmu
yang sangat abstrak dan tidak memungkinkan untuk dipelajari maupun diamati
secara langsung. Sedangkan objek dari psikologi adalah ilmu konkrit atau ilmu
yang mempelajari tingkah laku organisme dalam hubungan dengan lingkungannya.
Psikologi secara umum dapat diartikan nsebagai ilmu yang mempelajari gejala
jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab.[1]
Sehubunagan dengan hak ini, Taules berpendapat bahwa
psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang bertujuan mengembangkan
pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan megaplikasikanprinsip-prinsip
psikologi yang dipungut dari kajian terhadap perilaku bukan keagamaan (Robert
H. Thouless:25).
Sedangkan menurut Zakiah Darajat, psikologi agama adalah
meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang yang mempelajari berapa
besar pengaruh kenyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan
hidup pada umumnya. Di sampinga itu, psikologi agama jua mempelajari
pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor
yang mem pengaruhi kenyakinan tersebut(Zakiah Darajat,1970:11)
Sehubugan dengan psikologi agama Jalaludin (1979:77)
berpendapat bahwa Psikologi Agama menggunakan dua kata yaitu Psikologi dan
Agama, kedua kata ini memiliki pengertian yang berbeda. Dimana Psikologi secara
umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajarigejala jiwa manusia yang normal,
dewasa dan beradap.
b.
Ruang Lingkup Psikologi agama
Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama
memiliki ruang lingkup pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin
ilmu yang mempelajari masalah agama yang lainnya. Psikologi agama seperti
pernyataan Robert H. Thouless memusatkan kajiannya pada agama yang hidup dalam
budaya suatu kelompok atau masyarakat itu sendiri. Psikologi agama sejalan
dengan ruang lingkup kajiannya telah banyak memberi sumbangan dalam memecahkan
persoalan kehidupan manusia dalam kaitannya dengan agama yang dianutnya kemudian, bagaimana rasa keagamaan itu tumbuh
dan berkembang pada diri seseorang dalam tingkat usia tertentu. [2]
2. A. Teori tentang timbulnya
jiwa keagaman pada anak-anak baik dari keilmuan psikologi agama maupun dari
perspektif keilimuan islam. Perkembangan adalah serangkaian perubahan progresif
yang terjadi akibat dari proses kematangan dan pengalaman, seperti yang
dikatakann oleh Van Den Dalk, bahwa perkembangan berarti perkembangan secara
kwalitatif. Yang artinya bukan hanya sekedar perubahan beberapa sentimeter pada
tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan seatu
proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Dalam rentang
kehidupan terdapat beberapa tahap perkrembangan. Menurut Kohnstamm, tahap
perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi 5 priode, yaitu;
a.
Umur 0-3
tahun, periode pital atau menyusuli
b.
Umur 3-6 tahun, periode estetis atau masa
mencoba dan masa bermain.
c.
Umur 6-12
tahun, periode intelektual (masa sekolah)
d.
Umur 12-21
tahun, periode social atau masa pemuda
e.
Umur 21 tahun
ke atas, periode dewasa atau masa kematangan pisik dan psikis
B.
Sifat keagamaan pada anak dapat
dibagi menjadi enam bagian:
a.
Unreflective (kurang mendalam/
tanpa kritik) Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup
sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang
kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak
berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral
b.
Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada
anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai
arti seperti orang dewasa. Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan
dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi.
Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan
ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan
egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
c.
Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala
ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan
(mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan
religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif
dan konkret.
d.
Verbalis dan Ritualis Kehidupan
agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka
menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang
mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan
pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung
gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
e.
Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan
meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting.
Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan
tetapi berupa teladan
f.
Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak.
Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis
dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu
diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan
pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang
sangat penting
C.
Perkembangan Jiwa Beragama Pada
Remaja
Dalam peta psikologi remaja terdapat tiga bagian:
a.
Fase Pueral
Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak- anak, tetapi juga
tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase pertama ini merasa tidak tenang.
b.
Fase Negative
Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai
oleh sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya.
c.
Fase Pubertas
Masa ini yang dinamakan dengan Masa Adolesen
Dalam pembahasan ini , Luella Cole sebagaimana disitir kembali oleh
Hanna Jumhanna Bastaman, membagi peta remaja menjadi empat bagian:
Ø Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki-
laki)
Ø Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki-
laki)
Ø Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki-
laki)
Ø Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki-
laki).
D.
Terdapat empat sikap remaja
dalam beragama, yaitu:
1.
Percaya ikut- ikutan
Percaya ikut- ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama
secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian
ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu
biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan
psikisnya.
2.
Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah-
masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan
agama sebagaio suatu lapangan yang baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia
tidak mau lagi beragama secara ikut- ikutan saja. Biasanya semangat agama
tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut
mempunyai dua bentuk:
a.
Dalam bentuk positif
Semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat
agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal- hal yang tidak
masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari bid’ah dan
khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
b.
Dalam bentuk negative
Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan menjadi
bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja untuk
mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah- masalah keagamaan, seperti
bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
3.
Percaya, tetapi agak ragu- ragu
Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
a.
Keraguan disebabkan kegoncangan
jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan
kewajaran.
b.
Keraguan disebabkan adanya
kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau
dengan pengetahuan yang dimiliki.
4.
Tidak percaya atau cenderung
ateis Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar
atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh
kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan
terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk
kekuasaan Tuhan.[3]
Dari sampel yang diambil W. Starbuck terhadap mahasiswa
middleburg college, tersimpul bahwa dari remaja usia 11-26 tahun terdapat 53%
darin 142 mahasiswa yang mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama
yang mereka terima. Dari analisa hasil penelitiannya W. Starbuck menemukan
penyebab timbulnya keraguan antara lain adalah factor
a. Kepribadian
yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin
b. Kesalahan
organisasi keagamaan dan pemuka agama
c. Pernyataan
kebutuhan manusia
d. Kebiasaan
e. Pendidikan
f. Pencampuran
antara agama dan mistik.[4]
3.
Perkembangan
Agama Pada Masa Dewasa Sebagai akhir dari masa remaja adalah masa adolesen,
walaupun ada juga yang merumuskan masa adolesen ini kepada masa dewasa,
namun demikian dapat disebut bahwa masa adolesen adalah
menginjak dewasa yang mereka mempunyai sikap pada umumnya yaitu:
Ø Dapat menentukan pribadinya.
Ø Dapat menggariskan jalan hidupnya.
Ø Bertanggung jawab.
Ø Menghimpun norma-norma sendiri. Dan saat telah menginjak
usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu
untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung
jawab serta sudah menyadari makna hidup.
Secara garis
besarnya faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap perkembangan jiwa
keagamaan antara lain:
Ø Faktor kognitif, mengacu pada remaja yang memiliki mental
masih abstrak, mereka hanya mengkaji isu-isu agama dengan berpatokan pada
dasar-dasar agama tanpa memperdalaminya lebih lanjut.
Ø Faktor personal, mengacu pada konsep individual dan
identitas, individual maksudnya seseorang itu selalu menyendiri sedangkan
identitas maksudnya proses menuju pada kestabilan jiwa.
Ø Faktor hereditas, perbuatan yang buruk dan tercela jika
dilakukan akan menimbulkan rasa bersalah dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran
yang dilakukan terhadap larangan agama maka akan timbul rasa berdosa dan
perasaan seperti ini yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
4.
Pengaruh kebudayaan dalam era global terhadap jiwa
keagamaan
Era global
ditandai oleh proses kehidupan mendunia, kamajuan IPTEK terutama dalam bidang
transportasi dan komunikasi serta terjadinya lintas budaya. Kondisi ini
mendukung terciptanya berbagai kemudahan dalam hidup manusia, menjadikan dunia
semakin transparan. Pengaruh ini ikut melahirkan pandangan yang serba boleh
(permissiveness). Apa yang sebelumnya dianggap sebagai tabu, selanjutnya dapat
diterima dan dianggap biasa. Sementara itu, nilai-nilai tradisional mengalami
proses perubahan sistem nilai. Bahkan mulai kehilangan pegangan hidup yang
bersumber dari tradisi masyarakatnya. Termasuk ke dalamnya sistem nilai yang
bersumber dari ajaran agama.
Dalam
kaitannya dengan jiwa keagamaan, barang kali dampak globalisasi itu dapat
dilihat melalui hubungannya dengan perubahan sikap. Menurut teori yang
dikemukakan oleh Osgood dan Tannenbaum, perubahan sikap akan terjadi jika
terjadi persamaan persepsi pada diri seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi dengan
segala muatannya di nilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka mereka
akan menerimanya.
Secara
fenomina, kebudayaan dalam era global mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang
besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan. Meskipun dalam sisi-sisi tertentu kehidupan
tradisi keagamaan tampak meningkat dalam kesemarakannya. Namun dalam kehidupan
masyarakat global yang cenderung sekuler barangkali akan ada pengaruhnya
terhadap pertumbungan jiwa keagamaannya.
Dalam
situasi seperti itu, bisa saja terjadi berbagai kemungkinan. Pertama, mereka
yang tidak ikut larut dalam pengaguman yang berlebihan terhadap rekayasa
teknologi dan tetap berpegang teguh pada nilai – nilai keagamaan, kemungkinan
akan lebih meyakini kebenaran agama. Kedua, golongan yang longgar dari
nilai-nilai ajaran agama akan mengalami kekosongan jiwa, golongan ini sulit
menentukan pilihan guna menentramkan gejolak dalam jiwanya. [5]
[1] Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 1994
[2] Ibid hal. 15
[3] Jalaluddin Rakhmat , Psikologi
Agama sebuah pengatar, Mizan 2004
[4] Ibid hal 78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar