HUKUM DAN
ETIKA BERLALU LINTAS
ABSTARK : UU
No. 14 Tahun 1992 ternyata tidak bisa sepenuhnya dipatuhi oleh masyarakat
karena adanya unsur yang tidak logis, dan tidak memenuhi syarat berlakunya
secara filosofis, walaupun secara yuridis syarat-syarat tersebut dapat
dilengkapi .Dan kesadaran tertib lalu lintas adalah tergantung kepada anggapan
pentingya tertib berlalu lintas dengan bertujuan menghindari kemungkinan kecil
terjadinya kecelakaan yang sangat berbahaya dan merugikan bagi dirinya dan
keluarganya,
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Kepadatan
penduduk yang terus bertambah, kebutuhan orang yang semakin banyak, serta
kemajuan teknologi yang semakin canggih membawa implikasi semakin ramainya
transportasi di jalanan. Kepadatan lalu lintas di jalan tentu saja memerlukan
pengaturan yang tepat agar keselamatan dan kenyamanan berlalu lintas dapat
tetap terpelihara Disamping itu juga disiplin masyarakat dalam menaati
peraturan lalu lintas harus pula dijaga. Keteguhan penegak hukum dalam hal ini
polisi lalu lintas harus senantiasa ditingkatkan agar polisi tidak mudah
terjebak oleh berbagai bujuk rayu masyarakat yang selalu saja menggoda polisi
untuk tidak mematuhi hukum yang berlaku.
Paradigma
yang muncul kemudian adalah paradigma penyadaran masyarakat bahwa penegakan
hukum adalah untuk kepentingan bersama seluruh anggota masyarakat, karena itu
tidak dapat dibebankan secara sepihak kepada polisi lalu lintas belaka.
Patuh
hukum memang memerlukan biaya yang mahal. Sebagai contoh dalam hal berkendara
di jalan raya. Untuk mematuhi hukum setiap pengendara sepeda motor misalnya
harus memiliki SIM, STNK, mengenakan helm yang standart, serta perangkat
kendaraan yang laik jalan. Bila satu keluarga dalam satu rumah tangga masyarakat
kita terdiri dari seorang ayah, seorang ibu dan 2 orang anak, maka dengan satu
kendaraan sepeda motor untuk orang serumah sudah memerlukan biaya tidak sedikit
untuk mendapatkan 4 SIM dan 4 helm standart, bila tidak, maka seluruh anggota
keluarga akan dapat menikmati bersepeda motor secara bergantian dengan mematuhi
hukum. Apalagi sepeda motor dalam masyarakat kita adalah sarana transportasi
minimal yang tidak dapat dihindari lagi bila kita ingin melancarkan segala
urusan untuk memenuhi hajat hidup di masyarakat. Dalam kondisi masyarakat kita
yang telah dilanda krisis ekonomi berkepanjangan, untuk patuh hukum dengan
biaya setinggi itu tentu bukan hal yang mudah.
Di
sisi lain untuk melanggar hukum, biayanya akan lebih mahal lagi, yaitu untuk
pelanggaran karena tidak dapat menunjukkan SIM kepada petugas sewaktu diperiksa
di jalan, kita sudah terancam denda maksimal satu juta rupiah, demikian pula
bila bersepeda motor tanpa mengenakan helm, ancaman denda maksimal adalah satu
juta rupiah. Ancaman denda ini jauh lebih mahal daripada denda yang dikenakan
terhadap berbagai kejahatan yang diancamkan dalam KUHP.
Tentu
saja kondisi penegakan hukum yang demikian itu menimbulkan dilema di
masyarakat. Untuk patuh hukum saja biayanya sudah begitu mahal, apalagi untuk
melanggar hukum jauh lebih mahal lagi.
Agaknya
kondisi serupa itu juga dipahami oleh pihak penegak hukum, dalam hal ini
kepolisian, hal itu terbukti bahwa polisi tidak lagi segalak dahulu dalam
menindak pelanggar lalu lintas dijalan, sehingga walau banyak pengendara sepeda
motor atau mobil yang melakukan pelanggaran lalu lintas, polisi kelihatan
seakan cuek tidak ambil peduli. Tentu saja keadaan di jalan raya menjadi
semakin semrawut tidak karuan. Banyaknya pengendara sepeda motor yang tanpa
menyalakan lampu di waktu malam sudah sering membuat orang lain selalu berdebar
karena terkejut ataupun takut kalau terjadi tabrakan. Disamping itu kecelakaan
di jalan pun menjadi semakin sering terjadi karena keadaan di jalan yang seakan
tanpa aturan yang harus dipatuhi. Padahal sudah ada undang-undang lalu lintas
yang seharusnya diberlakukan sejak tahun 1993, yaitu UU No. 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas Jalan.
Logikanya
disiplin berlalu lintas seharusnya tetap ditegakkan walau dalam kondisi krisis
ekonomi yang berkepanjangan. Namun tampaknya kepercayaan masyarakat terhadap
polisi pun sudah sangat rendah, akibat trauma masa lalu, dimana polisi pun
sangat rendah, akibat trauma masa lalu dimana polisi selalu menghantui para
pengendara lalu lintas di setiap sudut jalan raya, sehingga pada waktu itu
muncul plesetan dengan istilah "priiit, jigo" yang artinya setiap ada
bunyi pluit yang ditiup polisi, pasti akan diikuti dengan pengenaan denda damai
yang selalu dapat ditawar menawarkan. Keadaan serupa itu membuat citra polisi
menjadi tidak ada harganya di masyarakat, sehingga pelanggaran pun tidak
berkurang, sebab masyarakat akhimya hanya takut kepada polisi bukan patuh
kepada hukum yang berlaku. Momen ketakutan masyarakat terhadap polisi digunakan
untuk lebih mempertakuti masyarakat dengan membuat patung-patung polisi
ditempat-tempat yang tidak dapat dihadiri oleh polisi, maka yang terjadi ialah
pematungan polisi dimana-mana. Namun setelah reformasi, ketakutan masyarakat
terhadap polisi berbalik menjadi ketakutan polisi terhadap masyarakat,
akibatnya polisi pun dimana-mana dianggap sebagai patung yang tidak berdaya.
Bukan hanya di bidang lalu lintas, bahkan semua kasus penegakan hukum polisi
tidak lagi dipercaya orang.
Dimana-mana
terjadi unjuk rasa den perusakan terhadap kantor-kantor polisi, markas-markas
polsek den sebagainya. Dalam keadaan serupa itu terjadi keadaan tertib hukum
menjadi semakin payah dan menyedihkan. Kejadian yang sangat tragis ialah
terjadinya tindakan main hakim sendiri dengan membakar bis-bis yang menabrak
orang ataupun mengeroyok dan membakar para pelaku kejahatan seakan masyarakat
sudah tidak mengenal hukum lagi. Sopir-sopir bis pun akhimya ketakutan untuk
mengoperasikan busnya dan mereka memilih mogok tidak hekerja karena takut
dikeroyok dan dibakar massa. Itulah gambaran sepintas tentang parahnya disiplin
masyarakat serta aparat penegak hukum di negara kita yang kesemuanya itu
mencerminkan betapa parahnya kondisi hukum kita pada saat ini.
Secara
teoritis untuk membentuk disiplin masyarakat haruslah melalui proses
pelembagaan (institulization) hal ini disebabkan karena normaa-norma
dalam berlalu lintas bukanlah norma yang tumbuh dari nilai-nilai sosial dalam
kehidupan sehari-hari. Suatu norma terlembaga (institutionalized) dalam
suatu sistem sosial tertentu, apabila dipenuhi paling sedikit tiga syarat,
yakni :
- Sebagian terbesar dari warga suatu sistem sosial menerima norma tersebut.
- Norma-norma tersebut telah menjiwai bagian terbesar warga-warga sistem sosial tersebut.Nomta tersebut bersanksi.1
Adaptasi
masyarakat terhadap norma-norma tersebut akan memerlukan waktu yang relatif
lama, dan ini adalah suatu hal yang normal. Adaptasi itu harus dilakukan
melalui proses edukasi dan karenanya memerlukan biaya yang besar. Karena itu
norma yang dibuat hendaknya juga harus memiliki nilai filosofis, logika serta
sosiologisnya~ disamping tentu saja yuridis. Hal ini untuk menghindari
kesia-siaan dalam proses internalisasi di masyarakat. Kegagalan alam adaptasi
akan mengakibatkan pemidanaan.
Tentang
hal berlakunya kaedah hukum ada anggapan-anggapan sebagai berikut :
- Kaedah hukum yang berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatnya (Hens Kelsen), atau apabila berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W. Zevenbergen), atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya (JHA Logemann).
- Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif Artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak dapat diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku karena diterima atau diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).
- Kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.2
Namun
juga diakui bahwa "betapapun melembaganya suatu norma, akan tetapi
kadang-kadang terjadi juga penyimpangan-penyimpangan. Hal itu terbukti dari
bereksistensinya sanksi-sanksi"3
Karena itu
sangat diperlukan adanya faktor pengendali sosial.
Faktor
pengendali sosial haruslah dibedakan dari pengendalian diri, walaupun keduanya
berhubungan erat. Pada taraf individual, maka pengendalian sosial mengacu pada
usaha umuk mempengaruhi pihak lain, sedangkan pengendalian diri tertuju pada
pribadi sesuai dengan ide atau tujuan tertentu yang ditetapkan sebelumnya.4
- PERAN ETIKA
Peran faktor
pengendali sosial adalah sangat penting sebagai alat pressure bagi masyarakat
agar dapat menerima berlakunya kaedah-kaedah tersebut. Pada umumnya faktor
pengendali sosial yang dipandang efektif adalah norma-norma agama. Hal itu
disebabkan karena norma agama memiliki kekuatan berlaku yang secara otonom,
artinya tanpa diperlukan kontrol dari luar. Disamping itu norma, agama juga sangat
mudah dan cepat tersosialisasi di masyarakat. Diantara norma-norma itu adalah
etika yang sudah dikenal dalam masyarakat luas. Namun kesulitannya adalah untuk
mengakomodasikan berbagai kaedah baru terutama yang berhubungan dengan etika
berlalu lintas di jalan, tentunya diperlukan kearifan dalam mengangkat
nilai-nilai agama sebagai inti norma, dalam berlalu lintas. Padahal ajaran
agama pada dasamya selalu mengajarkan disiplin moral sebagai pijakan etika yang
tinggi kepada para pemeluknya. Etika paling tidak dapat menjadi pijakan dalam
pergaulan masyarakat, khususnya dalam berlalu lintas.
Disamping masalah-masalah tersebut diatas, masih ada persoalan lain,
yaitu adanya suatu hipotesa yang menyatakan bahwa semakin besar peranan sara
pengendalian sosial lainnya (misalnya agama, adat istiadat, semakin ke peranan
hukum dan sebaliknya). Memang hukum tidak dapat dipaksak berlakunya di dalam
segala hal; oleh karena itu seyogyanya penerapannya diperhemat, kalau memang
masih ada sarana lain yang ampuh. Hendaknya hukum dipergunakan pada tingkat
yang terakhir apabila sarana lainnya tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah.5
BAB II
PROBLEMATIKA
Berdasar
uraian diatas maka yang menjadi permasalahan dalam paper ini ialah
:"Mampukah UU No. 14 Tahun 1992 mempolakan disiplin masyarakat sebagai
pengganti etika dalam berlalu lintas di jalan ?". Problema, ini muncul
sehubungan dengan sejak diberlakukannya UU No. 14 Tahun 1992, undang-undang itu
telah mendapat reaksi yang cukup besar dari masyarakat. Penyebabnya antara lain
karena dalam pembahasan di DPR terhadap UU tersebut seolah-olah dilakukan
secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh media masa. Disamping itu setelah
diundangkan, ternyata banyak hal dalam undang-undang tersebut yang dipandang
irasional, serta ancaman denda yang terlalu tinggi dibanding dengan kemampuan
masyarakat yang ada pada saat itu.
Kini
efektivitas UU tersebut semakin diragukan karena kenyataannya penegakan
hukumpun tidak mampu menegakkannya di lapangan. "Secara sempit dapat
dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan salah
satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.6
BAR III
PEMBAHASAN
- Dari Aspek Logika
Undang-undang
No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah merupakan undang-undang
yang dari aspek logika banyak mengandung kejanggalan. Kejanggalan demi
kejanggalan itu merupakan hal yang sangat menghambat sosialisasi undang-mdang
itu sendiri. Berbeda dengan Undang-Undang Hukum Pidana yang sudah berusia lebih
dari 90 tahun itu, undang-undang tentang lalu lintas jalan tidak berasal dari 8
niali -nilai sosial yang hidup di masyarakat yang kemudian menjadi norma sosial
yang selanjutnya diangkat menjadi hukum positip dengan diberi bentuk
undang-undaag. Tetapi UU No. 14 Tahun 1992 itu berasal dari atas yang di drop
dan harus dipatuhi oleh masyarakat.7
Menurn
Hamakerd, hukum bukan keseluruhan peraturan yang menetapkan bagaimana orang
seharusnya bertindak satu sama lain, melainkan ia terdiri atas
peraturan-peraturan menurut mana pada hakikatnya orang-orang biasanya
bertingkah laku dalam masyarakat.8
Walaupun
untuk UU sejenis itu, seperti UU tentang perpajakan, perbankan, dan sebagainya
memerlukan waktu yang sangat lama untuk mensosialisasikan, namun berhubung
dengan kepesatan kemajuan alat komunikasi dan informasi, maka teori ficrie 9
yang menyatakan bahwa sejak suatu undang-undang diundangkan, maka seluruh
masyarakat dianggap mengetahuinya, tidak begitu menjadi masalah. Apalagi yang
terkena UU No. 14 Tahun 1992 itu terutama adalah masyarakat perkotaan yang
sudah banyak memiliki alat-alat transportasi herupa kendaraan bermotor. Karena
itu dalam waktu yang relatif singkat masyarakat langsung meraksi UU tersebut,
dikarenakan antara lain :
- Banyak pasal karet yang tidak jelas definisinya, seperti kata-kata "mengendalikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak sesuai dengan peruntukannya" ? Apa pula yang dimaksud dengan : "memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan" ?
Pasal-pasal karet semacam ini dapat digunakan oleh petugas untuk
bertindak sewenang-wenang di jalan dengan mencari-cari kesalahan pengendara.
Misalnya sepeda motor yang digunakan untuk mengangkut dagangan ayam ke pasar,
apakah sesuai dengan petuntukannya ? Demikian pale sepeda motor yang tidak
memiliki tutup pentil, apakah termasuk memenuhi persyaratan teknis den laik
jalan ?
- Ancaman pidana yang berlebihan, masalahnya : kalau orang lupa membawa surat-surat kendaraan ataupun SIM, diancam denda Rp. 2.000.000; atau kurungan paling lama 2 bulan. Sebagaimana lazimnya di mendapatkan kita kendaraan bermotor minimal yang beroda 2, sudah merupakan kebutuhan mutlak. Dalam satu keluarga pada umumnya terdapat 1 sepeda motor untuk orang serumah bergantian. Jadi untuk patuh hukum sudah diperlukan biaya yang luar biasa mahal untuk tingkat ekonomi masyarakat pada seat ini. Seharusnya biaya untuk mendapatkan SIM harus diturunkan semurah mungkin agar untuk patuh hukum itu tidak memberati masyarakat.
- Membuka peluang untuk terjadinya kolusi den nepotisme, sebab di kalangan para penegak hukum pun (dalam hal ini polisi) belum seluruhnya memiliki sepeda motor dengan kelengkapan yang sempurna. Kalau yang ternyata melanggar aturan itu adalah petugas lalu lintas sendiri, bagaimama penindakannya? Demikian pula dengan adanya kewajiban menggunakan helm standar, akhimya terjadi kolusi antara para petugas dengan pengusaha helm untuk bersaing agar memperoleb kualifikasi standar, dan sebagainya. demikian pula dengan kewajiban untuk mengasuransikan awak kendaraan serta kendaraan bermotor yang digunakan sebagai kendaran umum, kolusi antara perusahaan asumnsi dan petugas pun terbuka lebar
- Dari aspek Yuridis
Dari
sisi yuridis untuk terjadinya suatu perundang-undangan harus memenuhi 2 azas,
yaitu : azas regulatif dan azas konstitutif Azas konstitutif, yaitu azas yang
bila itu tidak dipenuhi, maka UU itu tidak sah 10
Agaknya
azas ini memang sudah dipenuhi, yaitu prosedur pembuatan UU tersebut telah
melalui hak inisiatif dari Pemerintah kemudian disetujui oleh DPR lalu
diundangkan. Tetapi dari sisi azas regulatif, yaitu azas yang bila tidak
dipenuhi maka UU itu akan kehilangan rasa keadilan, agaknya UU ini tidak
memenuhi persyaratan, sebab azas regulatif haruss dipenuhi dengan memperhatikan
perkembangan masyarakat secara historis dan kultural. Secara historis-kultural,
disipin berlalu lintas adalah mempakan hal yang baru bagi masyarakat yang
tengah mengalami modemisasi, sebab sebelum periode ini, masyarakat kita masih
dalam kondisi yang tradisional. Artinya jumlah kendaraan bermmor pada saat itu
belum sebanyak sekarang. Demikian pula dengan berbagai perkembangan teknologi
di bidang pengaturan lalu lintas jalan serta kelengkapan kendaraan dalam
berlalu lintas. Kalau dulu belum dikenal adanya traffic-light, kini traffic-light
telah menjamur di mana-mana. Demikian pula kalau dulu belum dikenal adanya
berbagai rambu-rambu lalu lintas, kini sudah banyak. Kesemuanya itu tentu
memerlukan sosialisasi yang luas dan membutuhkan waktu. Azas regulatif harus
mampu mengkomodasikan berbagai perkembangan masyarakat tersebut. Tentang
berbagai kelengkapan kendaraan untuk dapat dikatakan sebagai laik jalan, sesuai
dengan peruntukan, dan sebagainya harus ada ketentum yang jelas. Hal ini
dimaksud agar azas lex-certa11 dapat dipenuhi. Hal itu
dikarenakan UU yang memenuhi azas legalitas memberikan sifat perlindungan
terhadap rakyat dari kekuasaan pemerintah yang tanpa batas. Von Feurbach
mengatakan bahwa berhubungan dengan fungsi instrumental undang-undang pidana
dan merupakan pengungkapan ajaran "paksaan psikologis", maka aturan
hukum itu dirumuskan.12
Pemerintah
juga harus selalu menggunakan wewenang yang diberikan kepadanya untuk memidana.
Di sinipun ada syarat keadilan, yaitu azas persamaan; adalah titik tidak adil
dalam keadaan yang sama memidana pelanggar undang-undang yang satu sedangkan
yang lain tidak.
- Aspek Sosiologis
Dalam
rangka memahami keterkaitan antara hukum dengan masyarakat yang mendukung hukum
itu, perlu diperhatikan adanya reaksi masyarakat terhadap hukum itu. yang harus
diperhatikan ialah bagaimana hukum yang berlaku di masyarakat itu sesuai dan
terjalin dengan baik ke dalam jaringan interaksi sosial; apakah hukum sebagai
hukum sebagai sarana pengatur masyarakat sudah bekerja secara efektif atau
belum, artinya apakah masyarakat masih mencari sarana lain di luar hukum itu.
Dan
sudut asal-usul hukum, timbulnya hukum sebagai tingkah laku anggota masyarakat
didorong oleh motif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Vinogradoff13
hukum itu tumbuh dari praktek yang dijalankan anggota-anggota masyarakat dalam
mengadakan hubungan yang satu dengan yang lain.
Dari pembicaraan-pembicaraan dalam lembaga legislatif tampak bahwa
pembuatan Rancangan Undang-Undang umuk mengawasi penggunaan dan distribusi obat
bius di Amerika Serikat diliputi oleh kenyataan bahwa para anggota legeslatif
tidak mau menandatangani suatu RUU yang berlawanan dengan
kepentingan-kepentmgan industri farmasi meskipun dihadapkan pada bukti bahwa
industri inilah yang sesungguhnya harus bertanggungjawab atas penyebaran
obat-obat bius.14
Menurut Bohannan, cirri-ciri
yang dikemukakan orang dalam definisi-definisi tentang hukum, semuanya dapat
dijumpai pada kebiasaan. Hanya bedanya, apabila kebiasaan itu tetap berada
dalam keadaannya semula, maka hukum adalah kebiasaan yang diciptakan (kembali)
secara khusus oleh badan-badan dalam masyarakat dalam bentuk yang lebih sempti
dam jelas. Dengan demikian maka hukum harus parallel dengan nilai-nilai yang
bekembang di masyarakat.15
Untuk
memparelelkan IJU No. 14 Th. 1992 dengan nilai-nilal sosial yang tumbuh di
masyarakat tentu hal yang mudah.
Menurut
Durkheim agar hukum dapat berlaku efektif di masyarakat harus ada rasa
kebersamam di masyarakat tersebut. Perasaan kebersamaan ini tidak hanya menarik
para anggota menjadi satu, melainkan sekaligus juga menjadi landasan berdirinya
masyarakatnya Dengan demikian, serangan terhadap masyarakatnya akan dihadapi
dengan kesadaran bersama pula, berupa penindakan terhadap serangan tersebut,
dalam hal ini berupa pemidanaan. 16
Jadi
agaknya memang untuk bisa berlakunya UU No. 14 Th. 1992 secara efektif,
masyarakat harus lama-sama merasakan pentingnya pengaturan yang tegas dan keras
dalam penegakan disiplin berlalulintas. Sampai saat ini agaknya media massa pun
belum banyak menyorot tentang penerapan disiplin dalam berlalu lintas, sehingga
polisipun tampaknya belum merasa perlu untuk menindak tegas para pelanggar
lalu-lintas sesuai dengan UU No. 14 Th. 1992 tersebut. Perhatian masyarakat
beserta media masa masih banyak tertuju pada pemberantasan NKK di tingkat atas,
sehingga kasus-kasus pelanggaran lalu lintas dianggap sebagai kasus murahan
atau kasusnya orang jalanan saja
- Aspek Filosofis
Menurut
Krabbe hukum tidak memperoleh kekuatan mengikutinya dari kehendak pemerintah,
melainkan pemerintah hanya memperoleh kekuasaannya.17 Bila
pernyataan Krabbe tersebut dihubungkan dengan pembuatan UU No. 14 Th. 1992,
maka sebenarnya kekuatan mengikut UU itu bukan karena pemerintah
menghendakinya. Menurut Krabbe Undang-Undang itu mengikat berdasarkan hukum
yang menjelma di dalamnya. Hukum itu sendiri datangnya adalah dari perasaan
hukum individu. Akan tetapi individu itu sangatlah banyak, sedang pergaulan
hidup menghendaki kesatuan kaidah hukum : hukum harus sama untuk seluruh
anggoat masyarakat. Ini adalah merupakan concitio sine qua non.
Karena
itu maka keseragaman kaidah hukum lebih penting daripada isi kaidah itu,
sehingga kesadaran hukum kita memberikan nilai yang tertinggi kepada kesatuan
kaidah tersebut, jika perlu mengorbankan sesuatu isi yang tertentu yang lebih
kita sukai. Karena menurut Krabbe untuk mendapatkan kaidah hukum yang mewakili
seluruh perasaan hukum masyarakat, kaidah hukum haruslah dipilih dari orang
terbanyak untuk dijadikan kaidah persekutuan, yaitu dari suara mayoritas yang
mempunyai nilai hukum tertinggi. Krabbe menekankan bahwa suara mayoritas ini
adalah mayoritas mutlak (2/3 dari seluruh suata masyarakat)
Berdasar
teori Krabbe, maka UU No. 14 Th. 1992 yang ditetapkan secara tidak jujur (tidak
terbuka) bukanlah suatu kaidah persekutuan yang baik. Apalagi bahwa di DPR kita
di jaman Orde Baru itu terkenal dengan adanya "uang gedhok", artinya
kalau suatu departemen berkehendak untuk meluluskan pembahasan RUU di DPR, maka
departemen itu harus mengeluarkan biaya extra untuk menyenangkan para wakil
rakyat. Hal ini pernah terungkap dalam kasus Jamsostek yang kemudian dibekukan
oleh Presiden Soeharto.
Pemikiran
tentang hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat berasal dari Roscoe
Pound dalam bukunya yang terkenal "An Introduction to the philosophy of
law" (1954). Disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia,
konsepsi "law as tool of social engineering" yang merupakan
inti pemikiran dari aliran Pragmatic Legal Realism itu, oleh Mochtar
Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di Indonesia melalui Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran. Bila ini kita hubungkan dengan keadaan UU No. 14 Th.
1992, UU ini memang dimaksudkan untuk menjadi agen pembaharuan terhadap
perilaku masyarakat dalam berlalulintas di jalan. UU ini juga dimaksudkan
sebagai rekayasa sosial yang akan mengarahkan perilaku masyarakat dalam berlalu
lintas agar sesuai dengan kehendak pembuat UU.
Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi hukum sebagai
"sarana" pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan
ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya. Alasannya
oleh karena lebih menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum
di Indonesia (walau yurisdprudensi memegang peranan Pula) dan ditolaknya
aplikasi mekanisme dari konsepsi tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan
hasil yang sama dari penerapan faham legisme yang banyak ditentang di
Indonesia.18
Roscoe
Pound menyatakan, "Apabila dan di mana hukum tumbuh dengan berpangkal
dalam perundang-undangan, maka tersebarlah suaru teori politik tentang hukum
sebagai perintah dari penguasa yang berdaulat"19. Agaknya teori
ini menemukan keberannya apabila digabung dengan teori Roscoe Pound yang lain
tentang hukum sebagai a tool afsocial engineering (alat rekayasa sosial).
Jelasnya di bidang pengaturan disiplin berlalu lintas ini memang pemerintah
harus menetapkan hukum untuk merekayasa perilaku masyarakat agar berdisiplin.
Perilaku masyarakat hendak dipolakan ke dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Namun usaha ini helum memenuhi persyaratan yang lain, yaitu
aspek sosiologis, guna mendapatkan dukungan dari masyarakat luas.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
UU
No. 14 Tabun 1992 tidak mampu mempolakan disiplin masyarakat dalam berlalu
lintas di jalan, sebab banyak mengandung konsep yang tidak jelas (tidak logis),
tidak mendapat dukungan masyarakat luas (sosiologis), tidak memenuhi syarat
berlakunya secara filosofis, walaupun secara yuridis memenuhi syarat.
B. Saran
Hendaknya UU No. 14 Tahun 1992 direvisi
sejauh yang menyangkut rumusan pasal karet yang tidak jelas agar diperjelas.
Selain itu juga persyaratan untuk patuh hukum dipermudah sehingga masyarakat
dengan mudah pula mematuhi hukum (misalnya persyaratan untuk mendapatkan SIM,
mengurus STNK, dan sebagalnya)
DAFTAR PUSTAKA
Apeldoorn, pengantar ilmu hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,
1978.
D.Schafrneister,et al, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta,
1995
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Ronny Hanitijo Soemitro, Masalah-Masalah Sosiolagi Hukum,
Sinar Baru, Bandung, 1984.
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, 1963,
Jakarta
____________________ 19
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982.
Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Tentang Straklur Masyarakat,
CV Rajawali, Jakarta, 1983, h. 199.
---------------------, Penelitian Hukum Normatif, CV. Rajawali,
Jakarta, 1985
PERHATIAN!! Mohon Untuk Tidak Memposting Ulang isi dari Blog ini ke blog / web lain tampa Se izin dari Admin"BLOG INI DILINDUNGI HAK CIPTA DMCA".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar