Selasa, 07 April 2015

PENGERTIAN PSIKOLOGI AGAMA DAN RUANG LINGKUPNYA

Posted by rio setiawan on Selasa, 07 April 2015



    
PSIKOLOGI AGAMA
 PENGERTIAN PSIKOLOGI AGAMA DAN RUANG LINGKUPNYA
( Lambang )




Nama  : Willys Rahmanita
Nim  : 1052071
KPI_VII B

Dosen Pembimbing:
Dra. Ratnawati,M.pd


JURUSAN DAKWAH
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM (KPI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) CURUP
2013
 

1.       a. Pengertian Psikologi Agama
Psikologi agama mengunakan dua kata yaitu psikologi dan agama. Menurut bahasa kata psikologi merupakan hasil peng Indonesiaan dari bahasa Inggris psychologi, dan istilah ini pun berasal dari kata Yunan, yaitu: Psycho dapat diartikan “roh, jiwa atau jiwa hidup”, dan logos dapat diartikan “ilmu”. Dengan demikian, secara harfiah psikologi adalh ilmu jiwa. Oleh karena itu tidaklah berlebihan manakala ada seseorang yang menyebut dengan istilah ilmu jiwa atau psikologi. Bertolak dari pemberian istilah tersebut, saya lebih setuju dengan penyebutan istilah psikologi dari pada ilmu jiwa. Dengan alasan objeknya, dimana objeknya ilmu jiwa adalah ilmu yang sangat abstrak dan tidak memungkinkan untuk dipelajari maupun diamati secara langsung. Sedangkan objek dari psikologi adalah ilmu konkrit atau ilmu yang mempelajari tingkah laku organisme dalam hubungan dengan lingkungannya. Psikologi secara umum dapat diartikan nsebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab.[1]
Sehubunagan dengan hak ini, Taules berpendapat bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang bertujuan mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan megaplikasikanprinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap perilaku bukan keagamaan (Robert H. Thouless:25).
Sedangkan menurut Zakiah Darajat, psikologi agama adalah meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang yang mempelajari berapa besar pengaruh kenyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Di sampinga itu, psikologi agama jua mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mem pengaruhi kenyakinan tersebut(Zakiah Darajat,1970:11)
Sehubugan dengan psikologi agama Jalaludin(1979:77) berpendapat bahwa Psikologi Agama menggunakan dua kata yaitu Psikologi dan Agama, kedua kata ini memiliki pengertian yang berbeda. Dimana Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajarigejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradap.

b.      Ruang Lingkup Psikologi agama
Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari masalah agama yang lainnya. Psikologi agama seperti pernyataan Robert H. Thouless memusatkan kajiannya pada agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok atau masyarakat itu sendiri. Psikologi agama sejalan dengan ruang lingkup kajiannya telah banyak memberi sumbangan dalam memecahkan persoalan kehidupan manusia dalam kaitannya dengan agama yang dianutnya  kemudian, bagaimana rasa keagamaan itu tumbuh dan berkembang pada diri seseorang dalam tingkat usia tertentu. [2]

2.      A. Teori tentang timbulnya jiwa keagaman pada anak-anak baik dari keilmuan psikologi agama maupun dari perspektif keilimuan islam. Perkembangan adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi akibat dari proses kematangan dan pengalaman, seperti yang dikatakann oleh Van Den Dalk, bahwa perkembangan berarti perkembangan secara kwalitatif. Yang artinya bukan hanya sekedar perubahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan seatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkrembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi 5 priode, yaitu;
a.       Umur 0-3 tahun, periode pital atau menyusuli
b.       Umur 3-6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
c.       Umur 6-12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
d.      Umur 12-21 tahun, periode social atau masa pemuda
e.       Umur 21 tahun ke atas, periode dewasa atau masa kematangan pisik dan psikis

B.     Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
a.       Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik) Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral
b.      Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa. Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
c.        Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
d.      Verbalis dan Ritualis Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
e.        Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting.
Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan
f.        Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting

C.    Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja
Dalam peta psikologi remaja terdapat tiga bagian:
a.       Fase Pueral
Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak- anak, tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase pertama ini merasa tidak tenang.
b.      Fase Negative
Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai oleh sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya.
c.       Fase Pubertas
Masa ini yang dinamakan dengan Masa Adolesen
Dalam pembahasan ini , Luella Cole sebagaimana disitir kembali oleh Hanna Jumhanna Bastaman, membagi peta remaja menjadi empat bagian:
Ø  Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki- laki)
Ø  Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki- laki)
Ø  Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki- laki)
Ø  Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki- laki).

D.    Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:
1.      Percaya ikut- ikutan
Percaya ikut- ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.
2.      Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah- masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagaio suatu lapangan yang baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut- ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
a.       Dalam bentuk positif
Semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
b.      Dalam bentuk negative
Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah- masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
3.      Percaya, tetapi agak ragu- ragu Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
a.       Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
b.      Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.
4.      Tidak percaya atau cenderung ateis Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.[3]
Dari sampel yang diambil W. Starbuck terhadap mahasiswa middleburg college, tersimpul bahwa dari remaja usia 11-26 tahun terdapat 53% darin 142 mahasiswa yang mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima. Dari analisa hasil penelitiannya W. Starbuck menemukan penyebab timbulnya keraguan antara lain adalah factor
a.       Kepribadian yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin
b.      Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama
c.       Pernyataan kebutuhan manusia
d.      Kebiasaan
e.       Pendidikan
f.       Pencampuran antara agama dan mistik.[4]
3.      Perkembangan Agama Pada Masa Dewasa Sebagai akhir dari masa remaja adalah masa adolesen, walaupun ada juga yang merumuskan masa adolesen ini kepada masa dewasa,namun demikian dapat disebut bahwa masa adolesen adalah menginjak dewasa yang mereka mempunyai sikap pada umumnya yaitu:
Ø  Dapat menentukan pribadinya.
Ø  Dapat menggariskan jalan hidupnya.
Ø  Bertanggung jawab.
Ø  Menghimpun norma-norma sendiri. Dan saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup.
Secara garis besarnya faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain:
Ø  Faktor kognitif, mengacu pada remaja yang memiliki mental masih abstrak, mereka hanya mengkaji isu-isu agama dengan berpatokan pada dasar-dasar agama tanpa memperdalaminya lebih lanjut.
Ø  Faktor personal, mengacu pada konsep individual dan identitas, individual maksudnya seseorang itu selalu menyendiri sedangkan identitas maksudnya proses menuju pada kestabilan jiwa.
Ø  Faktor hereditas, perbuatan yang buruk dan tercela jika dilakukan akan menimbulkan rasa bersalah dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan agama maka akan timbul rasa berdosa dan perasaan seperti ini yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang.

4.      Pengaruh kebudayaan dalam era global terhadap jiwa keagamaan
Era global ditandai oleh proses kehidupan mendunia, kamajuan IPTEK terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi serta terjadinya lintas budaya. Kondisi ini mendukung terciptanya berbagai kemudahan dalam hidup manusia, menjadikan dunia semakin transparan. Pengaruh ini ikut melahirkan pandangan yang serba boleh (permissiveness). Apa yang sebelumnya dianggap sebagai tabu, selanjutnya dapat diterima dan dianggap biasa. Sementara itu, nilai-nilai tradisional mengalami proses perubahan sistem nilai. Bahkan mulai kehilangan pegangan hidup yang bersumber dari tradisi masyarakatnya. Termasuk ke dalamnya sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama.
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, barang kali dampak globalisasi itu dapat dilihat melalui hubungannya dengan perubahan sikap. Menurut teori yang dikemukakan oleh Osgood dan Tannenbaum, perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada diri seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi dengan segala muatannya di nilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka mereka akan menerimanya.
Secara fenomina, kebudayaan dalam era global mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan. Meskipun dalam sisi-sisi tertentu kehidupan tradisi keagamaan tampak meningkat dalam kesemarakannya. Namun dalam kehidupan masyarakat global yang cenderung sekuler barangkali akan ada pengaruhnya terhadap pertumbungan jiwa keagamaannya.
Dalam situasi seperti itu, bisa saja terjadi berbagai kemungkinan. Pertama, mereka yang tidak ikut larut dalam pengaguman yang berlebihan terhadap rekayasa teknologi dan tetap berpegang teguh pada nilai – nilai keagamaan, kemungkinan akan lebih meyakini kebenaran agama. Kedua, golongan yang longgar dari nilai-nilai ajaran agama akan mengalami kekosongan jiwa, golongan ini sulit menentukan pilihan guna menentramkan gejolak dalam jiwanya. [5]




[1]Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994

[2]Ibid hal. 15
[3] Jalaluddin Rakhmat , Psikologi Agama sebuah pengatar, Mizan 2004
[4]Ibid hal 78
[5]http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/06/pengaruh-kebudayaan-terhadap-jiwa.html
PERHATIAN!! Mohon Untuk Tidak Memposting Ulang isi dari Blog ini ke blog / web lain tampa Se izin dari Admin"BLOG INI DILINDUNGI HAK CIPTA DMCA".

Previous
« Prev Post

6 komentar: